Pentingnya Gerakan LITBATUL
Selain membaca buku teks wajib pelajaran, gerakan membaca buku di sekolah semakin intens. Kepala Sekolah dan guru silih berganti mendapatkan pembinaan dan pelatihan yang terkait dengan penguatan literasi baca tulis. Penekanan kegiatan literasi di sekolah diperkuat seiring lemahnya penilaian hasil Sains dan Matematika di level PISA (Programme for International Student Assessment). Data yang dirilis Kompas setahun lalu (04/12/2019), rerata kemampuan baca negara-negara organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) berada di angka 487, skor Indonesia berada di skor 371. Peringkat pertama diraih China (skor 555), kemudian diikuti Singapura (549) dan Makau (525). Rendahnya kemampuan baca di kawasan ASEAN siswa Indonesia terkalahkan negara sempit terdekat, Singapura.
Dengan program Asasment Kompetensi Minimal yang direncanakan Mas Menteri Nadiem Makarim untuk merubah sistem Ujian Nasional (UN), menuntut siswa untuk mampu menganalisis soal dengan kemampuan kognitif level tinggi yang berangkat dari taksonomi Bloom. Dengan kemampuan menganalisis, mengevaluasi dan berfikir daya cipta diharapkan siswa dapat berpikir kritis, analitis dan lebih kontekstual dengan kehidupan nyata. Dengan demikian digenjotlah kegiatan liretasi baca tulis (litbatul) di sekolah. Diharapkan siswa tidak hanya pasif dengan mengedapankan teks yang bersifat retensi (ingatan) yang menekenakan level terendah dalam berfikir dalam level 1 pada taksonomi berfikir Bloom. Dengan gaya belajar dan kognitif yang terbiasa “dicekoki” dengan menghafal materi pelajaran dan tidak terbiasa berfikir kritis, sekarang dialihkan ke arah berfikir tingkat tinggi yang bernalar dan mengedepankan kreatifitas berfikir untuk menemukan masalah dan mencari pemecahannya. Mereka diajak berfikir lebih menyeluruh sesuai dengan tuntutan pembelajaran abad 21 yang kolaboratif, kreatif dan mampu berfikir kritis.
Gerakan Baca Tulis Masih Lemah
Suatu gerakan tentu saja ada pergerakan di elemen yang berkepentingan. Sekolah sebagai elemen penting pendidikan bergerak untuk menjemput program tersebut dengan berbagai programnya. Alokasi dana pemerintah yang masuk ke sekolah lima belas persennya juga diarahkan ke penyediaan buku perpustakaan. Penjadwalan kegiatan membaca juga tersusun. Sebelum pandemi Covid-19 setiap pagi sebelum proses pembelajaran anak-anak “bergulat” dengan buku yang mereka ambil dari sudut baca kelas atau pinjam di Perpustakaan untuk dibacanya.
Lalu, apakah kegiatan yang telah dilakukan membawa perubahan yang signifikan terhadap kemampuan baca tulis siswa. Di Sekolah, guru dan pemangku pendidikan bisa melihat kemajuannya sendiri, apakah ada alat ukur yang digunakan untuk memantau perkembangannya dan terdapat perubahan yang terjadi. Di level Nasional tentu memerlukan penelitian lebih lanjut dan menunggu rilis dari PISA beberapa tahun kemudian atau dari survey dan kajian internal Pemerintah. Namun saat ini yang terjadi, banyak yang sekadar melaksanakan gerakan sebagai sebuah kewajiban dengan mengabaikan hasil. Banyak yang belum melaksanakan kegiatan baca dan tulis dengan intensif dan bersifat reseptif. Padahal yang dituntut dalam kemampuan baca dan tulis adalah kemampuan pada level atas, seperti apresiasi sastra, cipta karya dan kemampuan analisisis terhadap isi dari suatu bacaan. Yang banyak terjadi, siswa masih pada tataran mengeja abjad tanpa adanya kegiatan membaca dengan pemahaman intensif dan ekstensif dari isi bacaan.
Saatnya gerakan litbatul (literasi baca tulis) dirubah pada kegiatan membaca dan menulis yang lebih bermakna dan produktif. Sudah ada beberapa sekolah yang mewujudkan kegiatan ini, misalnya di SMPN 1 Bendungan dengan produktifitas unggulan vitalisasi Perpustakaan sekolah dan pembukuan karya siswa dan guru yang dikemas dalam program “Pecah Batu” yang berhasil memperoleh apresiasi dari Kabupaten. Di tingkat SD juga mulai ada rintisan Sekolah yang mulai memperhatikan produktifitas literasi baca tulis dan literasi lain, seperti di SDN 3 Srabah dengan program “Sragam Literasi” yang beberapa waktu lalu diresmikan Kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga Kabupaten Trenggalek.
Untuk mengurangi kelemahan gerakan baca tulis yang mengedapankan gerakan retoris, sudah saatnya gerakan literasi baca tulis dirubah pada gerakan yang lebih produktif, apresiatif dan memberikan perubahan nyata di kalangan siswa, guru dan stake holder sekolah. Harapannya kegiatan litbatul memberikan kontribusi nyata pada kemampuan siswa dalam menghadapi dunia global yang memerlukan kecerdasan berfikir dengan diawali dari kemampuan unggul dari literasi baca dan tulis. Karena lemahnya kemampuan literasi baca dan tulis yang intensif akan mempengaruhi daya nalar dan daya pikir di tengah-tengah informasi yang mengglobal tanpa batas untuk diakses.
Sudah bisa diprediksi 15, 20, 25 tahun kedepan, siswa diharapkan pintar dan cerdas berkarakter yang akan mengisi sektor-sektor pembangunan, dimanapun tempatnya. Mereka berbekal kemampuan berbagai literasi, yang diawali dari kemampuan yang kuat dari literasi baca tulis. Dari literasi baca tulis itulah dikembangkan potensi literasi lainnya seperti literasi angka, keuangan, budaya dan literasi dalam kehidupan lainnya.
Perlu Dukungan Orang Tua dan Guru
Mengingat pentingnya kemampuan literasi baca dan tulis untuk mendukung literasi lain yang mendukung kehidupan dan kesejahteraan, maka peran orang tua dan guru sangat penting. Bagaimana orang tua dan guru memahami literasi sebagai bagian dari dukungan keberhasilan anak atau siswa untuk menghadapi kehidupan global. Dituntut harus cerdas menghadapi isu dan informasi yang harus dicerna dengan daya pikir sehingga tidak termakan dengan informasi bohong (hoax). Anak akan membuktikan kecerdasan literasi baca dan kemampuan bernalar mereka. Maka diperlukan teladan berliterasi yang baik. Guru diharapkan juga produktif, orang tua juga demikian, setidaknya memberikan kontribusi dan daya dukung yang nyata. Sehingga tidak hanya perintah dan hanya mengharapkan hasil tetapi orang tua dan guru harus berliterasi bersama-sama.(*)
Penulis adalah Guru SDN 1 Puru, Kecamatan Suruh