Kita Ini ASN Asli Atau Imitasi ?
Oleh: Mochamad Nur Arifin
“… Maka, janganlah sekali-kali loyalmu itu terhadap pimpinan saja, loyal-lah kepada majikannya pimpinan, yaitu rakyat… Masihkah kita bertanya jika saya melakukan ini dapat apa? Mau seperti itu dimana anggarannya (bahkan untuk hal-hal rutin yang remeh-temeh) ? Bonusnya mana?…”
Aku adalah kamu, kamu adalah aku, melebur menjadi kita. Siapa kita? Demokrasi rakyat dengan mekanisme pemilihan langsung berkonsekuensi logis terhadap siapa kita. Ketika saya dipilih kemudian dilantik sebagai pemegang mandat rakyat, artinya saat ini saya adalah pembantu atau pelayan atau babu dari rakyat. Bagaimana bisa, bukankah itu suatu jabatan tinggi dan bergengsi ? Logikanya, jika kamu mendaftar ke suatu instansi kemudian kamu dipilih dan diterima lamaranmu berarti statusmu yang baru adalah pekerja dari suatu instansi tersebut. Saya mendaftar di Trenggalek, saya melamar rakyat Trenggalek, maka saya pekerja/abdi/pembantu/pelayan/babu di Kabupaten Trenggalek. Setiap hari aku dikecam cemas, terbayang apakah yang aku makan, apa yang aku naiki sebagai fasilitas yang diberikan oleh majikanku, sudah sebanding dengan pekerjaanku. Itu hati baik yang berkata. Tapi ada juga hati buruk yang berkata, jangan sampai besok gak kepilih lagi. Itu aku, entah kamu!
Jabatanku hanya terhitung waktu, 5 tahun berlalu bisa jadi sudah tidak ada lagi yang akan menyambut dalam acara pengajian dengan perkataan “Yang kami hormati”, belum tentu turun mobil dibukakan pintu dan disalami orang berderet-deret dengan mengucapkan salam. Serasa orang paling mulia saja, seakan-akan seperti keadaan ahli surga yang disambut para malaikat berderet dan mengucapkan“salaamun qaulammirrabi Rahiim”. Penghormatan semu yang bias melenakan dan lupa jati diri sebagai babu. Itu aku, entah kamu!
Saudara-saudaraku insan ASN yang dan dimuliakan Tuhan,
Pemindahan mandat itu ada masanya. Sedangkan pengabdianmu masih lama masanya, mungkin lebih dari puluhan tahun bahkan engkau masih “diopeni” uang pensiun. Sebenarnya jika masyarakat sudah merasakan kerjamu baik, tidak perlu lagi dimandatkan pimpinan daerah melakukan pembinaan ASN, bahkan tidak perlu lagi masyarakat memilih babu-nya, karena semuanya sudah baik. Maka, janganlah sekali-kali loyalmu itu terhadap pimpinan saja, loyal-lah kepada majikannya pimpinan, yaitu rakyat. Dengan cara apa ? Implementasikan cita-cita “Maju Bersama”, karena itu yang membuat rakyat mempekerjakan saya.
UU ASN 5/2014 yang saat ini sedang direvisi pada pasal 3(c) berbunyi ASN sebagai profesi berlandaskan prinsip komitmen, integritas moral, dan tanggung jawab pada pelayanan publik. Ini amaliah yang sulit, kerja seumur hidup! Jika kita amalkan ini saya yakin tidak ada satu sen rupiah pun yang pantas untuk menghargai kita, karena pekerjaan ini pekerjaan mulia, tidak ada upah yang pantas bagi pekerjaan mulia selain Tuhan Yang Maha Esa yang membalas itu semua. Masihkah kita bertanya jika saya melakukan ini dapat apa? Mau seperti itu dimana anggarannya (bahkan untuk hal-hal rutin yang remeh-temeh) ? Bonusnya mana? Bukan hanya engkau saudara-saudara, akupun begitu! Siapa sih yang tidak mau harta benda dan kedudukan dunia, mau saudara-saudara, mau! Tapi aku malu. Itu aku, entah kamu!
Aku itu siapa? Aku pun bukan orang yang ikhlas mengabdi saudara-saudara, pengabdian ku kadang hanya memenuhi syahwat pencitraanku. Sedekahku hanya karena dorongan pamerku. Kerjaku hanya kebutuhan foto cantik di Instagramku. Gagasanku adalah kesombongan ke-aku-an dalam jabatanku. Aku lupa! Tapi saya masih bersyukur, karena saya dipilih langsung oleh rakyat, maka saya memiliki semacam hutang budi dengan rakyat, sehingga saya masih didorong untuk melakukan pencitraan. Tetapi bagaimana dengan saudara? Saudara ikhlas? Kalau belum ikhlas, berarti pencitraanjuga? Lho. Tidak pencitraan juga? Berarti gak kerja? Kerja, tapi apa dorongan kerjanya? Ya pokoknya masuk, setiap bulan gajian bayar cicilan, syukur jika ada tambahan.
Saudara, ayolah pencitraan! Kita itu pelayan publik, jika kita saja tidakpunya “nafsu” pencitraan terhadap sesama manusia. Bagaimana kita punya keinginan pencitraan kepada Tuhan Pemilik Alam Semesta. Jika, kamu menunggu ikhlas, sampai mati tidak ada satupun amal yang kamu lakukan. Sampai mati! Amal itu harus dipaksakan, ikhlasmu nanti mengikuti. Sudahlah kita ini bukan orang suci, tapi berusahalah selalu mencapai ridha Ilahi. Saling mengingatkan, semakin baik, semakin baik. Melayani dengan terpaksa, lama-lama biasa, menjadi biasa, menjadi budaya. Budaya melayani. Doaku, semoga kita “kembali” disambut dengan Welas Asih Ilahi Rabbi, Tuhan Yang Maha Esa. Bukankah hidup hanya untuk itu? Jika sudah begitu, mungkin baru kita ini layak disebut ASN asli, bukan imitasi.
subhannallah…. smoga aku juga bisa mengubah kebiasaan yang salah kaprah… berjuang untukmu negaraku…
Pelayananl pengabdian dan uang….
Semoga ASN di trenggalek bisa seperti yg diharapkan
Pak Wabup yg terhormat, banyak ASN Kab. Trenggalek yg memakai kendaraan plat merah untuk keperluan pribadi. Tidakkah kalian malu? Contohlah sahabat Nabi, Umar Bin Abdul Aziz yg memadamkan lilin ketika ada yg mengajaknya berbicara masalah pribadi bukan masalah rakyat, krn lilin tsb dibeli dg uang rakyat.
Pak Wabub yg terhormat, mumpung masih menjabat, buatlah gebrakan serius. Seperti Pemkab Wakatobi beberapa waktu lali menempeli stiker seluruh mobil plat merahnya dg stiker, “mobil ini dibeli dari hasil pajak rakyat”, atau anda punya ide lebih bagus lagi pak.. Kami tunggu keseriusan Anda menjadi pelayan rakyat..
———————
“Rakyate numpak DOKAR, pemerintahe numpak DAKAR”